Gambar dari Canva (royalty-free license) |
Di era modern yang penuh dengan perubahan dan kemajuan, berbagai aspek kehidupan pun turut bertransformasi. Salah satu fenomena sosial yang menarik untuk dikaji adalah fenomena orang-orang yang "beragama tapi ateis".
Fenomena ini setiap tahun semakin banyak terjadi di masyarakat kita dan sangat berdampak kepada perilaku sosial masyarakat. Oleh karena itulah, saya menulis artikel ini untuk melihat masalah sosial ini dari berbagai sudut pandang.
Artikel yang saya tulis ini diikutkan dalam lomba menulis blog yang diadakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UMY) pada bulan Mei 2024. Semoga tulisan saya ini bisa mencerahkan pembaca sekalian.
Islam KTP
Gambar dari Canva (royalty-free license) |
Bagi teman-teman muslim, kalian tentu tidak asing dengan istilah “Islam KTP”. Istilah ini merujuk kepada orang yang beragama Islam, tapi hanya sebatas di Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja. Dalam kesehariannya, orang tersebut tidak menjalankan syariat Islam seperti salat, puasa, zakat, sedekah, dsb.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia dan di agama Islam saja, tapi terjadi pada semua agama yang ada di seluruh dunia; Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, dsb.
Orang-orang ini beragama, tapi hanya sebatas tanda pengenal saja. Kelakuan mereka sehari-hari seperti orang ateis pada umumnya, tidak beribadah. Oleh karena itulah, orang-orang ini bisa dibilang beragama, tapi ateis. Mereka beriman dan percaya akan adanya tuhan, tapi untuk urusan taat terhadap aturan agama dan mengerjakan ibadah yang diperintahkan oleh agama, mereka tidak peduli.
Yang lebih memprihatinkan, fenomena orang-orang seperti ini jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya. Fenomena ini bisa kita lihat sendiri dengan mudah di tempat-tempat ibadah yang mulai sepi jemaah.
Bagi teman-teman muslim, kita bisa lihat sendiri bagaimana sepinya masjid sejak beberapa tahun ke belakang. Orang yang salat ke masjid hanya orang itu-itu saja, yang rata-rata mereka ini sudah sepuh dan berumur. Mereka yang berusia dibawah 30 tahun bisa dihitung jari di dalam masjid. Jika diibaratkan sepak bola, pergantian pemainnya tidak sebanding antara pemain muda dengan pemain inti yang sudah mau pensiun dan tutup umur.
Begitupun juga angka kunjungan ke gereja. Menurut data statistik dari Churchtrac di Amerika, angka kunjungan mingguan umat nasrani ke gereja turun 12% sejak tahun 2000. Tren penurunan ini pun terjadi di tempat-tempat ibadah lainnya, seperti pura dan vihara.
Lain dulu lain sekarang
Gambar dari Canva (royalty-free license) |
Jika kita lihat orang tua kita dulu, kakek nenek kita, buyut buyut kita, mereka adalah pribadi yang rajin ibadah. Mengapa orang zaman dulu lebih rajin ibadah dibanding orang zaman sekarang?
Zaman dulu itu segala serba susah; perang dimana-mana, bahan pangan serba susah, ekonomi serba susah. Penyakit ringan seperti tipes (demam tifoid) pun, bisa membuat orang meninggal. Belum lagi, mereka merasakan hidup di zaman penjajahan dimana kebebasan diri itu sangatlah terbatas.
Kehidupan zaman dulu penuh dengan ketidakpastian dan bahaya. Agama memberikan rasa aman dan kepastian dalam menghadapi situasi-situasi sulit. Keyakinan akan adanya kekuatan yang lebih besar dari diri manusia memberikan kekuatan dan harapan. Kita bisa melihat contohnya pada diri kita sendiri ketika kita sedang susah, sedang sakit, sedang bangkrut tak punya uang, sedang depresi oleh rasa sedih, maka kita akan lebih mudah mengingat tuhan, begitupun dengan masyarakat zaman dahulu.
Lain halnya dengan zaman sekarang yang serba mudah. Zaman sudah damai tidak ada peperangan yang menyusahkan; bahan pangan bisa didapat dengan mudah; penyakit-penyakit yang dulu dianggap berbahaya pun, sekarang sudah bisa disembuhkan, semisal flu, tipes, polio, kolera, dsb. yang dulu sangat mengerikan dan tidak bisa sembuh, sekarang bisa sembuh dengan mudah.
Belum lagi manusia modern itu dimabukan oleh teknologi sehingga menggerus waktu yang mereka punya. Pernah tidak kalian membuka media sosial di HP kalian, tidak terasa, tahu-tahu waktu 20 menit sudah berlalu. Kurang lebih seperti itulah kesibukan kita sebagai manusia modern. Jika tidak dikontrol dengan baik, teknologi ini bisa membuat manusia lalai dalam beribadah dan mengingat tuhan.
Menurut hasil data statistik, manusia modern itu menghabiskan kurang lebih 7 jam di depan layar—termasuk layar HP, TV, dan komputer; baik untuk internetan, nonton acara streaming service, media sosial, maupun bermain video game.
Faktor lain yang dapat memengaruhi ketaatan beribadah adalah pengaruh budaya, pendidikan agama, dan akses terhadap tempat ibadah. Di zaman modern, banyak orang yang terpapar budaya dan pemikiran yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Selain itu, kesibukan dan gaya hidup modern juga membuat banyak orang sulit untuk meluangkan waktu untuk beribadah.
Masyarakat amoral
Gambar dari Canva (royalty-free license) |
Salah satu dampak dari jauhnya manusia dari agama adalah perilaku amoral yang mulai marak di masyarakat. Manusia yang jauh dari agama cenderung kehilangan moral value dan tidak memiliki batasan dalam melakukan perbuatan buruk.
Kita dapat menilai sendiri penurunan moral masyarakat ini melalui berita di media sosial kita. Misalnya kasus perzinahan para pelakor; atau fenomena begal dan klitih, dimana anak-anak muda melakukan pembacokan secara random pada orang-orang di malam hari; atau juga misalnya kasus korupsi triliunan yang menjerat pejabat-pejabat negara kita. Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia yang jauh dari agama kehilangan nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh agama.
Berikut saya rangkum efek negatif ketika manusia jauh dari agama:
- Krisis makna dan tujuan: manusia akan mengalami krisis makna dan tujuan dalam hidup mereka ketika mereka menjauh dari agama. Hidup menjadi tidak jelas dan tanpa arah.
- Kehilangan nilai-nilai moral: agama seringkali menjadi sumber nilai-nilai moral yang memberikan arahan tentang apa yang benar dan salah.
- Kurangnya ketenangan batin: agama sering memberikan kenyamanan dan ketenangan batin kepada orang-orang dalam menghadapi tantangan hidup.
- Meningkatnya Individualisme: ketika orang-orang menjauh dari agama, ada kecenderungan untuk meningkatnya individualisme dalam masyarakat. Orang-orang mungkin lebih fokus pada kebutuhan dan keinginan pribadi mereka sendiri daripada pada kebutuhan dan keinginan komunitas.
- Kurangnya panduan dalam menghadapi krisis: agama sering memberikan panduan dan dukungan spiritual dalam menghadapi krisis kehidupan seperti kematian, sakit, atau kehilangan.
Secara tidak langsung, agama menjadi kontrol sosial di masyarakat. Agama juga berperan dalam mengontrol perilaku sosial dan mengatur norma-norma moral. Kehadiran agama memberikan dorongan untuk mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agama tersebut. Bahkan tidak jarang aturan agama tersebut berubah menjadi aturan negara.
Semakin masyarakat dekat dengan agama, penyimpangan-penyimpangan sosial akan semakin berkurang di masyarakat. Sayangnya, semakin kesini orang-orang semakin tidak tertarik dengan agama.
Nasib agama di masa depan
Gambar dari Canva (royalty-free license) |
Bagaimana nasib agama-agama ini kedepannya jika semua orang sudah tidak tertarik dengan agama?
Saya pribadi percaya bahwa suatu saat manusia akan kembali kepada agama di masa depan. Terutama ketika dunia ini sedang mengalami krisis, baik itu karena perubahan iklim maupun peperangan.
Walaupun kita sedang hidup rukun, damai, tentram sentosa. Sebenarnya dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Kerusakan alam yang terjadi secara global sangat berdampak buruk pada iklim dunia. Menurut Unesco, pada 2050 dunia ini akan mengalami krisis air bersih sehingga berdampak pada ketersediaan pangan secara internasional.
Bayangkan jika ratusan juta hektar lahan pertanian gagal panen, semua orang akan kesulitan pangan. Kita akan kembali ke zaman serba susah. Negara adidaya akan mencari resource ke negara yang kaya pangan, dan pastinya peperangan akan kembali mencuat di seluruh dunia. Belum lagi bencana alam—seperti kebakaran hutan, banjir, dsb.—akan lebih mudah terjadi di masa depan.
Krisis iklim dan peperangan dapat meningkatkan rasa cemas, ketidakpastian, dan kekhawatiran dalam masyarakat. Dalam situasi-situasi seperti ini, agama dapat memberikan harapan, ketenangan, dan kekuatan spiritual bagi individu untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Di tengah-tengah krisis, orang-orang akan mulai mempertanyakan nilai-nilai makna yang lebih dalam dalam kehidupan mereka. Nah, pada saat itulah manusia akan kembali dekat pada ajaran agama.
Agama dapat memberikan makna dan tujuan hidup dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Agama juga dapat membantu individu untuk membangun ketahanan mental dan spiritual dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup.
Memulai dari hal yang kecil
Gambar dari Canva (royalty-free license) |
Memang betul, suatu saat manusia akan kembali dekat dengan agama. Tapi, itu masih lama. Sebelum semua itu terjadi kita harus bisa menanamkan nilai-nilai agama pada diri anak-anak dan cucu-cucu kita. Jangan sampai ketika mereka hidup di zaman serba susah, mereka mencari pelarian ke hal-hal tidak berguna seperti alkohol, narkotik, atau yang lebih parah malah mengakhiri hidup mereka sendiri. Naudzubillah.
Menanamkan nilai-nilai agama pada anak-anak sejak usia dini dapat membantu mereka untuk membangun karakter yang kuat, moralitas yang baik, dan ketangguhan mental dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Anak-anak yang memiliki nilai-nilai agama yang kuat akan lebih mampu untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, serta memiliki kompas moral yang jelas dalam kehidupan mereka.
Kita mulai perubahan ini dari diri kita dulu, kita teruskan beribadah sesuai kepercayaan kita. Kita berikan contoh dengan menjadi menjadi pribadi yang baik di masyarakat dan berempati terhadap sesama. Selanjutnya, kita ajak anak-anak kita, saudara kita, orang tua kita, untuk menjadi ahli ibadah, beragama dengan taat dan mempelajari isinya.
Selain itu, kita juga dapat mengurangi waktu screen time, baik kita sendiri dan anak-anak, dan menggantinya dengan hal-hal positif. Misalnya, kita bisa menggunakan Youtube untuk mempelajari agama. Kita bisa mencari pemuka agama yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan toleransi. Kita juga dapat mencari komunitas-komunitas keagamaan yang dapat membantu kita untuk tetap termotivasi dalam beribadah.
Solusi ini mungkin tampak sederhana, tetapi dapat membawa perubahan moral jangka panjang bagi Indonesia. Marilah kita bersama-sama menanamkan nilai-nilai agama pada setiap sendi kehidupan. Dengan demikian, kita dapat membangun generasi Indonesia emas yang berakhlak mulia dan berkontribusi positif bagi bangsa dan negara. Insyaallah.